Ir. Rizki Muis - Direktur Budidaya Tanaman Rempah dan Penyegar, Direktorat Jenderal Perkebunan
Siapakah yang tidak mengenal coklat? Hampir semua orang dari kalangan masyarakat yang paling rendah hingga masyarakat kelas atas pasti mengenalnya. Coklat merupakan salah satu produk dari tanaman kakao yang banyak diproduksi di Indonesia.
Total areal tanaman kakao di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 1.563.423 hektar yang didominasi oleh perkebunan rakyat (93,11%) dengan jumlah petani yang terlibat secara langsung sebanyak 1.526.271 KK. Perkebunan kakao secara merata menyebar hampir di semua pulau besar di Indonesia. Penyebaran sentra kakao Indonesia di Pulau Sulawesi sebesar 62,3%, di Sumatera sebesar 17,3%, di Jawa sebesar 5,6%, di Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Bali sebesar 4,1%, di Kalimantan sebesar 3,7%, sedangkan di Maluku dan Papua sebesar 7,0%.
Sebaran perkebunan kakao nasional tersebut menghasilkan produksi total sebesar 795.581 ton sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara produsen terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading (1.380.000 ton). Ekspor kakao Indonesia pada tahun 2007 mencapai 655.429 ton dengan nilai US$ 950,6 juta, menempatkan kakao sebagai penghasil devisa terbesar ketiga sub sektor perkebunan setelah kelapa sawit dan karet.
Pada umumnya tanaman kakao mulai dikembangkan di Indonesia sekitar tahun 1980-an, sehingga produktivitasnya sudah menurun dan sudah saatnya dilakukan perbaikan budidaya melalui peremajaan, rehabilitasi dan intensifikasi. Data tahun 2008 menunjukkan kakao berada dalam kondisi tanaman tua, rusak, tidak produktif, dan terkena serangan hama dan penyakit dengan tingkat serangan berat. Sehingga diperlukan upaya penyelamatan terhadap komoditas ini yaitu melalui peremajaan seluas 235.000 hektar, rehabilitasi seluas 145.000 hektar serta intensifikasi seluas kebun kakao dengan tanaman tidak terawat dan kurang pemeliharaan sehingga perlu dilakukan intensifikasi.
Serangan hama dan penyakit utama adalah Penggerek Buah Kakao (PBK) dan penyakit Vascular Streak Dieback (VSD), mengakibatkan menurunnya produktivitas menjadi 690 kg/ha/tahun atau sebesar 37% dari produktivitas yang pernah dicapai (1.100 kg/ha/thn). Hal ini mengakibatkan kehilangan hasil sebesar 184.500 ton/thn atau setara dengan Rp 3,69 triliun per tahun.
Selama ini telah dilakukan berbagai upaya untuk memperbaiki kondisi tersebut seperti pemberdayaan petani melalui Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT) dan Sistem Kebersamaan Ekonomi (SKE), serta penerapan teknologi pengendalian dengan metode PSPsP (pemupukan, sanitasi, panen sering dan pemangkasan) untuk pengendalian Penggerek Buah Kakao (PBK) dan Vascular Streak Dieback (VSD) serta penyediaan bibit unggul. Mengingat pelaksanaannya masih parsial dalam skala kecil, maka hasilnya belum optimal. Oleh karena itu kegiatan-kegiatan tersebut perlu dilakukan secara serentak, terpadu dan menyeluruh melalui suatu gerakan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan maupun sumberdaya yang ada. Gerakan ini dicanangkan oleh Wakil Presiden RI pada tanggal 10 Agustus 2008 di Mamuju, Sulawesi Barat.
Pengembangan kakao di Indonesia memiliki prospek yang cukup baik karena permintaan kakao dunia akan terus meningkat, masih terbukanya peluang untuk pengembangan industri kakao menjadi produk jadi dan produk setengah jadi, serta pengembangan pasar dalam negeri, tersedianya teknologi budidaya untuk mempercepat peningkatan produktivitas (dengan tehnologi Somatic Embriogenesies), tersedianya peneliti dan tenaga-tenaga ahli di bidang kakao, animo masyarakat untuk menanam kakao cukup tinggi, masih tersedianya lahan untuk pengembagan tanaman kakao serta kakao Indonesia memiliki karakteristik khusus yang tidak dimiliki negara lain yaitu tidak mudah meleleh, setelah kakao tersebut diolah menjadi bahan yang dapat dikonsumsi. (www.sinartani.com)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar