Senin, 31 Agustus 2009

VARIETAS-VARIETAS UNGGUL BARU (VUB) TANAMAN TEBU PENUNJANG PRODUKSI GULA NASIONAL


Oleh : Muhammad Rasyid *)
Dalam usaha untuk meningkatkan produksi gula dan mendukung program swasembada gula nasional dengan target ± 3 juta ton di tahun 2012 maka diperlukan langkah yang tepat dan punya efek signifikan terhadap pertumbuhan produksi gula. Salah satu faktor yang berpengaruh signifikan tersebut adalah penggunaan varietas-varietas tebu unggul dengan potensi produksi dan potensi rendemen tinggi.

Sejak tahun 2004 s/d 2008 Departemen Pertanian telah merilis berbagai varietas tebu unggul yang dihasilkan oleh para pemulia tanaman di Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Varietas-varietas itu kini telah ditanam di seluruh sentra industri gula di seluruh Indonesia dan memberikan hasil peningkatan produksi gula dalam kurun 3 tahun terakhir ini.

Untuk lebih memasyarakatkan varietas-varietas unggul baru (VUB) tersebut, maka pada tulisan ini disampaikan deskripsi masing-masing varietas. Hal ini perlu dilakukan supaya tidak terjadi kesalahan identifikasi varietas yang bisa berakibat pada penurunan hasil yang jauh di bawah potensi varietas tersebut.

Berikut ini deskripsi berbagai varietas yang dimulai pada tahun rilis 2004, dan seterusnya.
1. PS 862
Bentuk ruas varietas ini tersusun konis dengan warna batang hijau kekuningan. Pada batang terdapat sedikit lapisan lilin dan mempengaruhi warna ruas. Daun berwarna hijau dengan ujung yang melengkung <½ panjang seluruh helai daun. Pada pangkal pelepah terdapat telinga daun yang panjang dan tegak. Kemampuan berkecambah termasuk sedang, diameter batang besar dan kerapatan batang sedang. Varietas ini termasuk MASAK AWAL dan punya bakat berbunga sporadis, sangat cocok untuk pasok tebu di awal giling. Potensi produksi tanaman pertama 110 ton/ha, rendemen 9,2% pada lahan berpengairan. Pada lahan kering sebesar 88 ton/ha, rendemen 9,5%. Cocok ditanam di tanah ringan sampai geluhan (Regosol, Mediteran, Aluvial).

2. PS 864
Ruasnya tersusun zig-zag dan berbentuk silindris. Warna ruas hijau kekuningan dan memiliki lapisan lilin yang tebal. Helai daunnya berwarna hijau kekuningan dengan ujung yang melengkung >½ panjang seluruh helai daun. Pada pangkal pelepah terdapat telinga daun yang kecil. Kemampuan berkecambah sedang, diameter batang sedang dan kerapatan sedang. Varietas ini termasuk MASAK TENGAH dan tidak punya bakat berbunga, cocok untuk pasok tebu di masa tengah giling. Potensi produksi tanaman pertama 100 ton/ha, rendemen 8,7% pada lahan berpengairan. Pada lahan kering sebesar 78 ton/ha, rendemen 9%. Cocok ditanam pada tanah ringan-berat. Jika kekurangan N akan berbunga karena respon terhadap N sangat tinggi. Klentek daun mudah.

Selasa, 11 Agustus 2009

MENYELAMATKAN WAJAH PERKAKAOAN NASIONAL MELALUI GERAKAN PENINGKATAN PRODUKSI DAN MUTU KAKAO NASIONAL

Ir. Rizki Muis - Direktur Budidaya Tanaman Rempah dan Penyegar, Direktorat Jenderal Perkebunan
Siapakah yang tidak mengenal coklat? Hampir semua orang dari kalangan masyarakat yang paling rendah hingga masyarakat kelas atas pasti mengenalnya. Coklat merupakan salah satu produk dari tanaman kakao yang banyak diproduksi di Indonesia.

Total areal tanaman kakao di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 1.563.423 hektar yang didominasi oleh perkebunan rakyat (93,11%) dengan jumlah petani yang terlibat secara langsung sebanyak 1.526.271 KK. Perkebunan kakao secara merata menyebar hampir di semua pulau besar di Indonesia. Penyebaran sentra kakao Indonesia di Pulau Sulawesi sebesar 62,3%, di Sumatera sebesar 17,3%, di Jawa sebesar 5,6%, di Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Bali sebesar 4,1%, di Kalimantan sebesar 3,7%, sedangkan di Maluku dan Papua sebesar 7,0%.

Sebaran perkebunan kakao nasional tersebut menghasilkan produksi total sebesar 795.581 ton sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara produsen terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading (1.380.000 ton). Ekspor kakao Indonesia pada tahun 2007 mencapai 655.429 ton dengan nilai US$ 950,6 juta, menempatkan kakao sebagai penghasil devisa terbesar ketiga sub sektor perkebunan setelah kelapa sawit dan karet.

Pada umumnya tanaman kakao mulai dikembangkan di Indonesia sekitar tahun 1980-an, sehingga produktivitasnya sudah menurun dan sudah saatnya dilakukan perbaikan budidaya melalui peremajaan, rehabilitasi dan intensifikasi. Data tahun 2008 menunjukkan kakao berada dalam kondisi tanaman tua, rusak, tidak produktif, dan terkena serangan hama dan penyakit dengan tingkat serangan berat. Sehingga diperlukan upaya penyelamatan terhadap komoditas ini yaitu melalui peremajaan seluas 235.000 hektar, rehabilitasi seluas 145.000 hektar serta intensifikasi seluas kebun kakao dengan tanaman tidak terawat dan kurang pemeliharaan sehingga perlu dilakukan intensifikasi.

Serangan hama dan penyakit utama adalah Penggerek Buah Kakao (PBK) dan penyakit Vascular Streak Dieback (VSD), mengakibatkan menurunnya produktivitas menjadi 690 kg/ha/tahun atau sebesar 37% dari produktivitas yang pernah dicapai (1.100 kg/ha/thn). Hal ini mengakibatkan kehilangan hasil sebesar 184.500 ton/thn atau setara dengan Rp 3,69 triliun per tahun.

Selama ini telah dilakukan berbagai upaya untuk memperbaiki kondisi tersebut seperti pemberdayaan petani melalui Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT) dan Sistem Kebersamaan Ekonomi (SKE), serta penerapan teknologi pengendalian dengan metode PSPsP (pemupukan, sanitasi, panen sering dan pemangkasan) untuk pengendalian Penggerek Buah Kakao (PBK) dan Vascular Streak Dieback (VSD) serta penyediaan bibit unggul. Mengingat pelaksanaannya masih parsial dalam skala kecil, maka hasilnya belum optimal. Oleh karena itu kegiatan-kegiatan tersebut perlu dilakukan secara serentak, terpadu dan menyeluruh melalui suatu gerakan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan maupun sumberdaya yang ada. Gerakan ini dicanangkan oleh Wakil Presiden RI pada tanggal 10 Agustus 2008 di Mamuju, Sulawesi Barat.

Pengembangan kakao di Indonesia memiliki prospek yang cukup baik karena permintaan kakao dunia akan terus meningkat, masih terbukanya peluang untuk pengembangan industri kakao menjadi produk jadi dan produk setengah jadi, serta pengembangan pasar dalam negeri, tersedianya teknologi budidaya untuk mempercepat peningkatan produktivitas (dengan tehnologi Somatic Embriogenesies), tersedianya peneliti dan tenaga-tenaga ahli di bidang kakao, animo masyarakat untuk menanam kakao cukup tinggi, masih tersedianya lahan untuk pengembagan tanaman kakao serta kakao Indonesia memiliki karakteristik khusus yang tidak dimiliki negara lain yaitu tidak mudah meleleh, setelah kakao tersebut diolah menjadi bahan yang dapat dikonsumsi. (www.sinartani.com)
 

PERKEBUNAN Copyright © 2009 Community is Designed by Bie